Benarkah akan ada krisis 2030 ? Menavigasi Konvergensi Risiko Global

Benarkah akan ada krisis 2030 ?   Menavigasi Konvergensi Risiko Global

Ringkasan Eksekutif

 

Laporan strategis ini menyajikan analisis mendalam mengenai potensi krisis keuangan global yang diproyeksikan terjadi menjelang tahun 2030. Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya yang dipicu oleh kegagalan di sektor tertentu, krisis 2030 diantisipasi sebagai “badai konvergen”—sebuah fenomena di mana guncangan geopolitik, lingkungan, dan teknologi secara simultan menghantam sistem keuangan global yang telah rapuh akibat beban utang yang mencapai rekor tertinggi dan ruang kebijakan yang terbatas. Analisis ini mengidentifikasi empat pendorong utama kerapuhan sistemik: (1) Tumpukan Utang Global yang masif pada tingkat pemerintah dan korporasi, menciptakan kondisi rentan terhadap guncangan suku bunga atau perlambatan pertumbuhan; (2) Fragmentasi Geopolitik, yang ditandai oleh persaingan strategis AS-Tiongkok, mengganggu rantai pasok, mendorong inflasi, dan mengikis kerja sama internasional; (3) Keterkaitan Iklim-Keuangan, di mana risiko fisik dan transisi dari perubahan iklim menjadi sumber utama instabilitas finansial; dan (4) Akselerator Teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan aset kripto, yang memperkenalkan bentuk-bentuk baru risiko sistemik yang belum sepenuhnya dipahami.

Krisis ini akan menjadi tantangan yang unik untuk dikelola karena para pembuat kebijakan menghadapi “trilema kebijakan” yang pelik: ketidakmampuan untuk secara bersamaan mencapai stabilitas keuangan, stabilitas harga, dan stabilitas sosial. Upaya untuk menstabilkan satu aspek berisiko memperburuk aspek lainnya. Di tengah lanskap ini, Indonesia menunjukkan resiliensi yang dibangun dari pengalaman krisis masa lalu, namun tetap memiliki kerentanan signifikan terhadap arus modal global dan volatilitas harga komoditas.

Laporan ini menyimpulkan dengan seruan untuk tindakan proaktif dan terkoordinasi. Menghindari krisis ini menuntut pergeseran fundamental dari manajemen krisis reaktif ke pembangunan resiliensi sistemik yang proaktif. Kerangka kerja untuk resiliensi diuraikan untuk berbagai pemangku kepentingan—pemerintah, korporasi, dan individu—dengan rekomendasi yang mencakup penguatan jaring pengaman keuangan global, pembangunan model bisnis yang tahan krisis, dan fortifikasi keuangan pribadi. Pada akhirnya, solusi jangka panjang terletak pada penataan ulang kerja sama global, pengembangan regulasi yang adaptif untuk teknologi baru, dan komitmen terhadap pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif sebagai fondasi stabilitas di masa depan.

Bagian 1: Anatomi Krisis 2030 – Sebuah Badai Konvergen

 

Bagian ini mendefinisikan karakteristik fundamental dari potensi krisis 2030. Argumentasi utamanya adalah bahwa krisis ini tidak akan berasal dari satu pemicu tunggal yang spesifik pada satu sektor, seperti krisis mata uang/utang negara berkembang pada tahun 1998 atau krisis subprime mortgage AS pada tahun 2008. Sebaliknya, krisis 2030 akan ditandai oleh sifatnya yang multifaset dan saling terhubung. Ini akan menjadi krisis sistemik di mana berbagai tekanan global yang tampaknya independen bertemu, saling memperkuat, dan pada akhirnya melampaui kapasitas resiliensi sistem keuangan global.

 

Mendefinisikan Badai Konvergen

 

Krisis 2030 tidak akan memiliki episentrum tunggal yang jelas. Ia kemungkinan besar akan bermanifestasi sebagai serangkaian kegagalan berjenjang yang melintasi berbagai domain—ekonomi, geopolitik, lingkungan, dan teknologi. Laporan Risiko Global 2025 dari World Economic Forum (WEF) secara eksplisit menyoroti “lanskap global yang semakin terfragmentasi,” di mana tantangan geopolitik, lingkungan, sosial, dan teknologi secara bersamaan mengancam stabilitas.1 Ini merupakan kontras tajam dengan krisis 2008, yang pada dasarnya adalah krisis sektor keuangan yang kemudian merambat ke ekonomi riil.3 Skenario 2030 melibatkan berbagai guncangan eksternal—seperti peristiwa iklim ekstrem, serangan siber skala besar, atau eskalasi konflik geopolitik—yang menghantam sistem keuangan yang sudah rapuh.

Fondasi ekonomi global yang menopang sistem ini juga menunjukkan tanda-tanda kelemahan struktural. Proyeksi dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia mengindikasikan bahwa dekade 2020-an akan menjadi periode pertumbuhan yang lambat. Pertumbuhan PDB global diperkirakan hanya akan mencapai rata-rata 2,5% pada dekade ini, laju paling lambat sejak tahun 1960-an.5 Lingkungan pertumbuhan yang “stabil tapi lambat” (

steady but slow) ini 6 menciptakan fondasi yang rapuh. Dalam kondisi seperti ini, bahkan guncangan moderat sekalipun dapat memicu krisis yang tidak proporsional, karena ekonomi yang melemah tidak lagi memiliki penyangga fiskal maupun moneter yang memadai untuk menyerap dampaknya.7

Karakteristik yang paling mengkhawatirkan dari badai konvergen ini adalah runtuhnya korelasi negatif antar-risiko yang sebelumnya memberikan stabilitas. Di masa lalu, guncangan di satu area (misalnya, geopolitik) mungkin dapat diimbangi oleh stabilitas di area lain. Namun, lanskap saat ini menunjukkan bahwa risiko-risiko ini menjadi berkorelasi positif, menciptakan lingkaran umpan balik yang berbahaya. Sebagai contoh, konflik geopolitik 8 mengganggu rantai pasok global, yang pada gilirannya memicu inflasi.10 Inflasi yang persisten memaksa bank sentral untuk mempertahankan suku bunga tinggi, yang memberikan tekanan hebat pada pemerintah dan korporasi yang sarat utang.11 Pada saat yang sama, peristiwa iklim ekstrem 13 dapat mengganggu produksi pertanian, menambah tekanan pada inflasi pangan dan menuntut pengeluaran pemerintah yang besar dan tidak terduga. Dengan demikian, guncangan geopolitik dan guncangan iklim tidak lagi menjadi peristiwa terpisah; keduanya kini mengalir ke kerentanan finansial yang sama—yaitu inflasi dan utang yang tinggi—dan saling memperkuat dampaknya. Ini adalah pergeseran fundamental dari sifat krisis sebelumnya yang pemicunya lebih terisolasi.

 

Analisis Komparatif dengan Krisis Masa Lalu (1998 & 2008)

 

Untuk memahami keunikan ancaman 2030, penting untuk membandingkannya dengan krisis-krisis besar sebelumnya yang telah membentuk memori kolektif para pembuat kebijakan dan investor.

  • Krisis Keuangan Asia 1998: Krisis ini pada dasarnya adalah krisis negara berkembang (emerging market) yang dipicu oleh utang korporasi dalam mata uang asing yang tidak diimbangi lindung nilai (unhedged) dan sistem perbankan domestik yang lemah. Bagi Indonesia, dampaknya sangat menghancurkan dan langsung terasa di sektor riil. Produk Domestik Bruto (PDB) terkontraksi sebesar 13%, dan nilai tukar Rupiah anjlok dari sekitar Rp2.500 per dolar AS menjadi Rp15.000.4 Krisis ini menjadi pelajaran pahit tentang bahaya fundamental ekonomi makro yang rapuh.
  • Krisis Keuangan Global 2008: Krisis ini berawal dari sektor keuangan negara maju, khususnya pasar subprime mortgage di Amerika Serikat, dan menyebar secara global melalui instrumen keuangan yang kompleks dan saling terkait seperti Collateralized Debt Obligations (CDOs). Meskipun pasar saham Indonesia terpukul keras, ekonomi riilnya terbukti jauh lebih tangguh. Pertumbuhan ekonomi hanya melambat dari 6% pada 2008 menjadi 4,5% pada 2009, dan Indonesia berhasil menghindari resesi.3 Krisis 2008 memberikan pelajaran penting tentang perbedaan antara guncangan keuangan eksternal dan kegagalan sistemik internal.
  • Proyeksi Krisis 2030: Perbedaan utamanya terletak pada sumber guncangan. Pemicu krisis 2030 kemungkinan besar bersifat non-finansial (geopolitik, iklim, teknologi), tetapi dampaknya akan diperkuat secara eksponensial oleh kerentanan finansial yang sudah ada sebelumnya, terutama utang. Keterkaitan global yang lebih dalam, tidak hanya melalui jalur keuangan tetapi juga melalui rantai pasok, data, dan risiko siber, berarti krisis dapat menyebar lebih cepat dan dengan cara yang lebih tidak terduga dibandingkan tahun 2008, yang penyebarannya dapat dilacak melalui instrumen keuangan.14

Tabel berikut menyajikan perbandingan terstruktur untuk menyoroti sifat unik dari proyeksi krisis 2030.

Fitur Krisis 1998 (Krisis Asia) Krisis 2008 (Krisis Global) Proyeksi Krisis 2030 (Badai Konvergen)
Penyebab Utama Utang korporasi valas di Asia; sistem perbankan lemah. Gelembung perumahan AS (subprime mortgage); sekuritisasi berisiko. Konvergensi risiko: utang global, fragmentasi geopolitik, iklim, dan disrupsi teknologi.
Episentrum Asia Tenggara (dimulai di Thailand). Amerika Serikat dan Eropa. Global dan terdesentralisasi; tidak ada satu titik asal yang jelas.
Kanal Transmisi Utama Penularan mata uang (currency contagion); penarikan modal asing. Instrumen derivatif (CDO, MBS); interkoneksi perbankan global. Rantai pasok; keamanan siber; harga komoditas; risiko iklim; disinformasi.
Sektor Utama Terdampak Ekonomi riil dan perbankan di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Sektor perbankan dan keuangan global; pasar perumahan AS. Berbagai sektor secara simultan: energi, pangan, teknologi, keuangan, dan asuransi.
Efikasi Respons Kebijakan Intervensi IMF yang kontroversial; pemulihan lambat di beberapa negara. Aksi bank sentral terkoordinasi (G20); stimulus fiskal masif. Terbatas dan tidak terkoordinasi akibat utang tinggi, polarisasi politik, dan fragmentasi geopolitik.

Bagian 2: Pergeseran Lempeng Tektonik – Pendorong Utama Kerapuhan Sistemik

 

Bagian ini menyelami lebih dalam “penyebab” krisis, dengan menganalisis empat pilar fundamental instabilitas yang sedang bertemu dan menciptakan kondisi matang untuk krisis 2030. Keempat pendorong ini tidak hanya ada secara bersamaan, tetapi juga saling berinteraksi dalam sebuah lingkaran umpan balik negatif yang memperkuat kerapuhan sistem secara keseluruhan.

 

2.1 Tumpukan Utang Global: Lengan Pemerintah dan Korporasi di Titik Patah

 

Fondasi kerapuhan sistem keuangan global saat ini adalah tingkat utang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Utang global—yang mencakup utang pemerintah, korporasi non-keuangan, dan rumah tangga—diperkirakan dapat mencapai sekitar USD 400 triliun pada tahun 2030.12 Skala utang yang masif ini menciptakan kondisi “titik tanpa kembali” (

point of no return), di mana kenaikan suku bunga yang relatif kecil atau perlambatan pertumbuhan ekonomi yang moderat dapat memicu gelombang gagal bayar yang masif.12

Bagi pemerintah, beban pembayaran bunga utang yang tinggi secara langsung menggerus ruang fiskal. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk layanan publik esensial seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur—yang merupakan pendorong pertumbuhan jangka panjang—terpaksa dialihkan untuk membayar bunga utang. Hal ini tidak hanya menghambat potensi pertumbuhan ekonomi tetapi juga mengurangi stabilitas sosial.12 Bagi korporasi, tingkat utang yang tinggi membatasi kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam inovasi, ekspansi, dan penciptaan lapangan kerja, membuat ekonomi menjadi lebih stagnan dan kurang dinamis.11

Dalam konteks Indonesia, meskipun pemerintah secara konsisten menyatakan bahwa rasio utang terhadap PDB masih dalam batas aman dan peringkat utang negara berada di level investment grade 15, struktur pembiayaan defisit anggaran memiliki kerentanan tersendiri. Ketergantungan yang tinggi pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menarik dana dari pasar modal, termasuk dari investor asing, menciptakan potensi risiko. Pergeseran sentimen investor global yang tiba-tiba—dipicu oleh kenaikan suku bunga di negara maju atau persepsi risiko yang meningkat—dapat menyebabkan penarikan modal secara cepat (

sudden stop), yang akan menekan nilai tukar Rupiah dan meningkatkan biaya pinjaman pemerintah secara drastis.16

 

2.2 Fragmentasi Geopolitik: Dari Perang Dagang ke Blok Ekonomi

 

Era hiper-globalisasi yang mendefinisikan akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 telah berakhir. Dunia kini bergerak menuju tatanan yang lebih terfragmentasi, yang ditandai oleh kompetisi strategis yang intens, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok.9 Ini bukan sekadar perang dagang yang berfokus pada tarif, melainkan pertarungan yang lebih fundamental untuk supremasi teknologi, ekonomi, dan geopolitik di masa depan.8

Fragmentasi ini bermanifestasi dalam berbagai bentuk: peningkatan hambatan perdagangan, penataan ulang rantai pasok global (melalui strategi seperti friend-shoring atau near-shoring), dan pengalihan arus investasi yang semakin didasarkan pada aliansi geopolitik, bukan lagi semata-mata pada efisiensi ekonomi.1 Biaya ekonomi dari fragmentasi ini sangat signifikan. IMF memperkirakan bahwa dalam skenario fragmentasi yang parah, PDB global dalam jangka panjang dapat berkurang hingga 7%, setara dengan hilangnya output sebesar USD 7,4 triliun.18 Fragmentasi menciptakan inefisiensi, meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan dan harga bagi konsumen, serta menyuburkan ketidakpastian kebijakan global—yang diidentifikasi oleh Bank Dunia sebagai salah satu penghambat utama pertumbuhan.5

Bagi negara-negara seperti Indonesia, dinamika ini menghadirkan dilema strategis yang kompleks. Di satu sisi, ada tantangan besar untuk tidak terjebak dalam “tembak-menembak” antara kekuatan besar dan menjaga kebijakan luar negeri yang bebas aktif.8 Di sisi lain, ada peluang untuk menarik investasi dari perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin mendiversifikasi basis produksi mereka dari Tiongkok. Namun, peluang ini tidak datang secara otomatis dan persaingannya sangat ketat, seperti yang ditunjukkan oleh tren relokasi investasi ke negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko.8

 

2.3 Keterkaitan Iklim-Keuangan: Ketika Risiko Lingkungan Menjadi Penularan Finansial

 

Perubahan iklim telah berevolusi dari isu lingkungan menjadi sumber utama risiko sistemik keuangan.21 Pengakuan ini tercermin dari semakin terintegrasinya agenda aksi iklim ke dalam mandat inti lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia, yang kini melihat stabilitas iklim sebagai prasyarat untuk stabilitas makroekonomi.22 Risiko iklim terhadap sistem keuangan dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis utama:

  • Risiko Fisik: Ini adalah dampak langsung dari peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering dan intens, seperti banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan. Risiko ini secara langsung merusak aset fisik (infrastruktur, properti), mengganggu rantai pasok dan operasional bisnis, serta menyebabkan kerugian klaim asuransi yang masif.13
  • Risiko Transisi: Ini adalah risiko keuangan yang timbul dari proses pergeseran global menuju ekonomi rendah karbon. Aset di sektor-sektor padat karbon, seperti bahan bakar fosil, berisiko menjadi “aset terlantar” (stranded assets) karena perubahan kebijakan, teknologi, dan preferensi konsumen. Perusahaan yang gagal beradaptasi dengan transisi ini dapat menghadapi kerugian pasar yang signifikan, denda regulasi, atau bahkan kebangkrutan.21
  • Risiko Liabilitas: Ini merujuk pada potensi tuntutan hukum terhadap perusahaan atau lembaga keuangan atas kontribusi mereka terhadap perubahan iklim atau karena kegagalan mereka dalam mengungkapkan risiko terkait iklim kepada investor secara transparan. Risiko ini dapat mengakibatkan biaya litigasi yang sangat besar dan kerusakan reputasi yang parah.21

Industri perbankan dan asuransi berada di garis depan dalam menghadapi risiko ini. Perusahaan asuransi menghadapi lonjakan klaim katastropik, sementara bank menghadapi tekanan untuk menilai dan mengurangi eksposur portofolio pinjaman mereka terhadap aset-aset yang rentan terhadap risiko iklim. Proses de-risking yang tergesa-gesa atau tidak terkelola dengan baik dapat memicu penjualan aset secara besar-besaran (fire sale) dan mendestabilisasi pasar keuangan.13

 

2.4 Akselerator Teknologi: AI, Kripto, dan Batas Baru Instabilitas

 

Perkembangan teknologi yang pesat, khususnya dalam kecerdasan buatan (AI) dan keuangan digital, membuka peluang efisiensi yang luar biasa, tetapi juga menciptakan sumber-sumber instabilitas baru yang belum pernah ada sebelumnya.

  • Kecerdasan Buatan (AI): Adopsi AI secara luas di pasar keuangan memperkenalkan risiko-risiko baru yang unik. Salah satu kekhawatiran utama adalah terciptanya “monokultur” algoritmik. Ketika banyak pelaku pasar menggunakan model AI yang serupa dan dilatih dengan set data yang sama, mereka cenderung mencapai kesimpulan dan strategi perdagangan yang serupa. Hal ini dapat memicu perilaku ikut-ikutan (herding behavior) secara masif, memperkuat volatilitas pasar, dan berpotensi menyebabkan flash crash.23 Selain itu, AI dapat digunakan untuk tujuan jahat, seperti manipulasi pasar yang canggih atau serangan siber yang dapat melumpuhkan infrastruktur keuangan vital.24 Kompleksitas dan sifat “kotak hitam” dari beberapa model AI canggih juga menciptakan risiko “yang tidak diketahui” (
    unknown-unknowns), membuat manajemen risiko tradisional menjadi sangat sulit.26
  • Aset Kripto: Ekosistem aset kripto, meskipun menjanjikan inovasi, membawa serta risiko volatilitas harga yang ekstrem, kerentanan terhadap kejahatan siber dan pencucian uang, serta kurangnya dukungan aset fundamental yang jelas. Faktor-faktor ini berpotensi merusak stabilitas sistem keuangan jika tidak diatur dengan baik.27 Kerangka regulasi untuk aset kripto masih terfragmentasi dan dalam tahap pengembangan di banyak negara, menciptakan dilema bagi regulator antara mendorong inovasi dan menjaga stabilitas serta perlindungan investor.28 Disinformasi yang diperkuat oleh AI semakin memperburuk risiko di ruang ini.30

Keempat pendorong ini tidak beroperasi secara terpisah. Mereka terjerat dalam sebuah hubungan yang saling memperkuat. Fragmentasi geopolitik dapat memperlambat transisi iklim karena negara-negara memprioritaskan keamanan energi di atas tujuan hijau, yang pada gilirannya meningkatkan risiko fisik iklim. Perlombaan supremasi teknologi mendorong pengembangan AI yang cepat dan kurang teregulasi. Bencana iklim yang besar akan menuntut pengeluaran pemerintah yang masif, memperburuk tumpukan utang negara. Dan tingkat utang yang tinggi membuat setiap negara menjadi lebih rentan terhadap guncangan yang berasal dari salah satu dari tiga pendorong lainnya, karena mereka tidak memiliki kapasitas fiskal untuk merespons secara efektif. Interaksi dinamis inilah yang mengubah kumpulan risiko individual menjadi sebuah potensi badai konvergen yang sistemik.

Bagian 3: Proses Keruntuhan – Tantangan dan Konsekuensi Krisis Modern

 

Bagian ini mengeksplorasi “tantangan”—mengapa krisis ini akan sangat sulit untuk dikelola. Fokusnya adalah pada keterbatasan instrumen kebijakan yang tersedia bagi para pembuat keputusan dan dampak sosial-politiknya yang parah, yang dapat menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan.

 

3.1 Impotensi Kebijakan: Menavigasi Krisis dengan Perangkat yang Tumpul

 

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari skenario krisis 2030 adalah bahwa para pembuat kebijakan akan memasuki medan pertempuran dengan persenjataan yang jauh lebih terbatas dibandingkan pada krisis-krisis sebelumnya.

  • Keterbatasan Kebijakan Moneter: Bank sentral di seluruh dunia menghadapi dilema yang tajam. Dalam lingkungan utang yang sangat tinggi, menaikkan suku bunga secara agresif untuk memerangi inflasi berisiko memicu krisis utang pemerintah dan gagal bayar korporasi secara massal.12 Sebaliknya, mempertahankan suku bunga rendah untuk menjaga stabilitas utang dapat membuat inflasi menjadi permanen dan tidak terkendali. Banyak negara maju juga sudah berada di dekat atau pada
    Zero Lower Bound (ZLB), yang secara efektif menghilangkan kemampuan mereka untuk memangkas suku bunga sebagai stimulus saat terjadi resesi.32 Hal ini memaksa mereka untuk bergantung pada alat-alat kebijakan yang kurang konvensional dan belum teruji sepenuhnya, seperti pelonggaran kuantitatif (
    quantitative easing), yang memiliki efek sampingnya sendiri, termasuk potensi distorsi pasar aset.
  • Keterbatasan Kebijakan Fiskal: Tingkat utang publik yang telah mencapai rekor tertinggi secara drastis membatasi kemampuan pemerintah untuk meluncurkan paket stimulus fiskal skala besar seperti yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2020.34 Setiap upaya untuk meningkatkan pengeluaran defisit secara signifikan dapat disambut dengan kepanikan di pasar obligasi, yang menyebabkan lonjakan biaya pinjaman dan memicu krisis fiskal penuh. Ini adalah inti dari fenomena “dominasi fiskal,” di mana kebijakan moneter tidak lagi independen dan menjadi tunduk pada kebutuhan untuk memastikan keberlanjutan fiskal pemerintah.31 Ruang untuk bermanuver menjadi sangat sempit.
  • Erosi Kerja Sama Global: Fragmentasi geopolitik yang dijelaskan di Bagian 2 secara langsung diterjemahkan menjadi ketidakmampuan untuk menyusun respons global yang terkoordinasi. Ini sangat kontras dengan kolaborasi efektif G20 pada tahun 2008, yang dipandang sebagai kunci untuk mencegah depresi global. Dalam dunia yang terpolarisasi menjadi blok-blok yang saling bersaing, mencapai konsensus mengenai tindakan kolektif menjadi hampir mustahil. Lembaga-lembaga multilateral seperti IMF mungkin memiliki sumber daya finansial, tetapi mereka akan kekurangan konsensus politik yang diperlukan untuk menerapkannya secara efektif dan cepat.35

 

3.2 Polarisasi Sosial dan Politik: Biaya Manusia dan Umpan Balik Ekonominya

 

Krisis ekonomi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa sosial. Laporan Risiko Global WEF secara konsisten menempatkan “polarisasi sosial” dan “ketidaksetaraan” sebagai risiko global tingkat atas.1 Krisis keuangan pada tahun 2030 akan bertindak sebagai akselerator yang kuat bagi ketegangan-ketegangan ini.

Kombinasi dari kehilangan pekerjaan massal, inflasi yang menggerus tabungan dan daya beli, serta pemotongan layanan sosial (akibat keterbatasan fiskal pemerintah) akan memberikan pukulan yang tidak proporsional kepada kelompok masyarakat yang paling rentan. Hal ini dapat dengan mudah memicu keresahan sosial yang meluas, protes, dan ketidakstabilan politik.12

Ketidakstabilan sosial ini, pada gilirannya, menciptakan umpan balik negatif yang kuat ke dalam ekonomi. Iklim politik yang tidak menentu akan menghalangi investasi domestik dan asing, menekan kepercayaan konsumen, dan membuat pemerintah tidak mampu mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diperlukan namun seringkali menyakitkan secara politik. Dengan demikian, dampak sosial dari krisis bukan hanya merupakan konsekuensi, tetapi juga menjadi pendorong yang memperdalam dan memperpanjang krisis itu sendiri.

 

3.3 Dimensi Indonesia: Menilai Kerentanan dan Resiliensi

 

Dalam menghadapi badai global ini, Indonesia memiliki serangkaian kekuatan dan kelemahan yang unik.

  • Resiliensi: Indonesia telah membangun kerangka kerja kelembagaan yang kuat untuk manajemen krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menyediakan platform yang solid untuk koordinasi kebijakan.16 OJK dan BI secara aktif menggunakan berbagai instrumen makroprudensial, seperti rasio
    Loan-to-Value (LTV) untuk kredit properti dan Countercyclical Capital Buffer (CCyB) untuk perbankan, guna menjaga stabilitas sistem keuangan dari penumpukan risiko yang berlebihan.38 Lebih penting lagi, Indonesia telah memetik pelajaran berharga dari krisis 1998 dan 2008, yang telah menanamkan kewaspadaan dan kehati-hatian dalam pembuatan kebijakan.4
  • Kerentanan: Meskipun memiliki fondasi yang lebih kuat, Indonesia tetap rentan terhadap dinamika keuangan global. Perekonomiannya sangat sensitif terhadap arus modal internasional. Peristiwa risk-off global—di mana investor secara massal menarik dana dari aset berisiko—dapat menyebabkan aliran modal keluar yang deras, memberikan tekanan hebat pada nilai tukar Rupiah dan imbal hasil SBN.38 Ketergantungan ekonomi pada ekspor komoditas juga menjadi sumber kerentanan. Dalam krisis global, permintaan dan harga komoditas akan sangat fluktuatif, yang berdampak langsung pada neraca perdagangan dan penerimaan negara.8 Di tingkat domestik, maraknya pinjaman online ilegal dan skema investasi bodong menunjukkan adanya kantong-kantong kerapuhan finansial dan rendahnya literasi keuangan di sebagian masyarakat, yang dapat terekspos dan memicu masalah sosial-ekonomi saat terjadi penurunan ekonomi.38

Tantangan utama yang dihadapi para pembuat kebijakan adalah “trilema kebijakan” yang baru untuk era 2030-an: mustahil untuk secara bersamaan mencapai stabilitas keuangan (mencegah gagal bayar), stabilitas harga (inflasi rendah), dan stabilitas sosial (mencegah keresahan) dalam dunia yang sarat utang dan terfragmentasi. Pilihan harus dibuat, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang berat. Jika prioritasnya adalah stabilitas keuangan, bank sentral mungkin terpaksa membiarkan inflasi tinggi. Namun, inflasi yang tinggi mengorbankan stabilitas sosial. Sebaliknya, jika prioritasnya adalah stabilitas harga, bank sentral harus menaikkan suku bunga secara tajam, yang mengorbankan stabilitas keuangan. Keruntuhan finansial yang diakibatkannya akan menyebabkan pengangguran massal, yang juga mengorbankan stabilitas sosial. Tidak ada jalan keluar yang mudah atau tanpa rasa sakit dari krisis semacam ini, yang membuat dampak politik dan sosialnya berpotensi lebih parah daripada guncangan ekonomi awalnya.

Bagian 4: Kerangka Kerja untuk Resiliensi – Kesiapan Strategis Lintas Masyarakat

 

Bagian ini menguraikan strategi “persiapan” yang dapat ditindaklanjuti, beralih dari tingkat makro (pemerintah dan lembaga supranasional) ke tingkat mikro (perusahaan dan individu). Tujuannya adalah untuk membangun pertahanan berlapis yang dapat mengurangi dampak krisis dan mempercepat pemulihan.

 

4.1 Strategi Nasional dan Supranasional: Memperkuat Jaring Pengaman Keuangan Global

 

Tanggung jawab utama untuk mitigasi krisis sistemik berada di tangan pemerintah dan lembaga-lembaga internasional. Tindakan mereka harus fokus pada penguatan fondasi sistem keuangan sebelum krisis terjadi.

  • Pemerintah & Bank Sentral: Prioritas utama adalah membangun kembali penyangga kebijakan (policy buffers) selama masa-masa yang relatif tenang.34 Ini berarti melakukan konsolidasi fiskal yang kredibel dan bertahap—bukan kebijakan penghematan yang drastis—untuk mengurangi rasio utang terhadap PDB.34 Bank sentral harus terus memperkuat regulasi makroprudensial untuk mencegah penumpukan risiko yang berlebihan di sistem keuangan 38, mengembangkan sistem peringatan dini (
    early warning systems) yang lebih canggih yang dapat mendeteksi risiko-risiko baru 39, dan melakukan uji tekanan (
    stress tests) yang secara eksplisit memasukkan skenario risiko iklim dan siber. Di tingkat internasional, penguatan kerja sama sangat penting. Ini termasuk memperluas jalur pertukaran mata uang (swap lines) antar bank sentral dan memastikan IMF memiliki sumber daya yang cukup dan dapat digunakan secara cepat.35
  • Untuk Indonesia: Pemerintah dan otoritas terkait harus terus memperkuat kerangka kerja KSSK sebagai pusat komando manajemen krisis. Sinergi antara kebijakan moneter BI dan kebijakan fiskal pemerintah harus ditingkatkan untuk memastikan respons yang koheren.16 Membangun cadangan devisa yang kuat tetap menjadi prioritas untuk menjadi bantalan terhadap guncangan arus modal keluar.39 Di sisi struktural, percepatan reformasi untuk meningkatkan iklim investasi dan mendorong sumber-sumber pertumbuhan domestik akan mengurangi ketergantungan pada pasar global yang fluktuatif dan meningkatkan daya tahan ekonomi secara keseluruhan.42

 

4.2 Korporasi yang Resilien: Model Bisnis dan Rantai Pasok yang Tahan Krisis

 

Sektor swasta memainkan peran penting dalam resiliensi ekonomi secara keseluruhan. Perusahaan yang rapuh dapat memperkuat guncangan ekonomi, sementara perusahaan yang tangguh dapat bertindak sebagai penyerap guncangan.

  • Manajemen Krisis: Perusahaan harus proaktif, bukan reaktif. Ini dimulai dengan membentuk tim manajemen krisis yang berdedikasi dan memiliki mandat yang jelas.43 Strategi bisnis harus dirancang agar fleksibel dan mudah beradaptasi, dengan fokus yang kuat pada inovasi dan manajemen risiko proaktif sebagai bagian dari DNA perusahaan, bukan sebagai fungsi sampingan.43
  • Resiliensi Keuangan: Di tingkat neraca, perusahaan harus mengurangi ketergantungan pada utang (deleveraging) dan fokus pada peningkatan arus kas. Mengamankan sumber pendanaan yang beragam dari berbagai lembaga dan pasar dapat mengurangi risiko jika satu sumber mengering. Paradigma harus bergeser dari maksimalisasi keuntungan jangka pendek ke pembangunan ketahanan jangka panjang.
  • Resiliensi Operasional: Pelajaran dari pandemi dan ketegangan geopolitik sangat jelas: rantai pasok yang terlalu ramping dan terkonsentrasi adalah sebuah kerentanan. Perusahaan harus berinvestasi dalam diversifikasi rantai pasok mereka, baik secara geografis maupun melalui pemasok ganda, untuk memitigasi risiko gangguan.13 Investasi dalam teknologi digital dan peningkatan keterampilan karyawan juga sangat penting untuk meningkatkan kemampuan adaptasi dan efisiensi dalam lingkungan yang berubah cepat.43

 

4.3 Fortifikasi Keuangan Individu dan Rumah Tangga: Membangun Pertahanan Ekonomi Pribadi

 

Pada akhirnya, dampak krisis paling dirasakan di tingkat individu dan rumah tangga. Membangun pertahanan keuangan pribadi adalah fondasi dari stabilitas sosial.

  • Membangun Dana Darurat: Ini adalah prioritas nomor satu dan tidak dapat ditawar. Setiap individu dan rumah tangga harus berusaha memiliki dana darurat yang setara dengan 6 hingga 12 bulan biaya hidup, yang disimpan dalam instrumen yang likuid dan aman (seperti tabungan atau deposito).45 Dana ini adalah benteng pertahanan pertama saat menghadapi kehilangan pekerjaan atau guncangan pendapatan lainnya.
  • Mengurangi dan Menghindari Utang Konsumtif: Utang berbunga tinggi, seperti kartu kredit dan pinjaman pribadi tanpa agunan, adalah beban yang sangat berat saat krisis. Prioritaskan untuk melunasi utang-utang ini. Hindari mengambil utang baru untuk pembelian barang-barang yang tidak esensial.46
  • Meningkatkan Aliran Pendapatan: Jangan hanya bergantung pada satu sumber penghasilan. Mengembangkan pekerjaan sampingan (side hustle), keterampilan baru yang dapat dimonetisasi, atau sumber pendapatan pasif lainnya dapat menciptakan penyangga finansial yang krusial jika sumber pendapatan utama terganggu.47
  • Berinvestasi untuk Jangka Panjang: Krisis seringkali memicu kepanikan di pasar keuangan. Penting untuk tidak menjual investasi secara panik saat pasar sedang turun. Pertahankan portofolio investasi yang terdiversifikasi dengan baik dan sesuai dengan tujuan jangka panjang. Selama masa ketidakpastian, pertimbangkan untuk meningkatkan alokasi pada aset-aset defensif, seperti saham di sektor kebutuhan pokok (makanan, kesehatan) dan obligasi pemerintah berkualitas tinggi.49 Masa krisis juga seringkali menghadirkan peluang untuk membeli aset-aset berkualitas dengan harga diskon bagi investor yang memiliki dana dan keberanian.49

Tabel berikut merangkum strategi-strategi ini dalam sebuah matriks yang dapat ditindaklanjuti.

Pemangku Kepentingan Risiko Utama yang Dihadapi Aksi Kesiapan Jangka Pendek (1-2 Tahun) Aksi Kesiapan Jangka Panjang (3-5+ Tahun)
Pemerintah & Bank Sentral Krisis fiskal; penularan keuangan; instabilitas sosial. Membangun cadangan devisa; melakukan uji tekanan pada sistem keuangan; memperkuat jaring pengaman sosial. Melakukan konsolidasi fiskal yang kredibel; mengimplementasikan reformasi struktural; memperkuat kerja sama internasional (swap lines, dll.).
Korporasi Gangguan rantai pasok; krisis likuiditas; penurunan permintaan. Mengoptimalkan arus kas; mengamankan jalur kredit; meninjau dan memetakan risiko rantai pasok. Mengurangi utang (deleveraging); mendiversifikasi rantai pasok dan pasar; berinvestasi dalam digitalisasi dan inovasi.
Individu & Rumah Tangga Kehilangan pekerjaan; inflasi tinggi; penurunan nilai aset. Membangun dana darurat (target 6-12 bulan); melunasi utang konsumtif; menunda pengeluaran besar yang tidak mendesak. Mengembangkan sumber pendapatan tambahan; berinvestasi secara teratur dalam portofolio yang terdiversifikasi; meningkatkan keterampilan (upskilling).

Bagian 5: Cetak Biru untuk Keseimbangan Baru – Solusi untuk Dunia Pasca-Krisis

 

Bagian terakhir ini menyajikan “solusi” yang berwawasan ke depan, melampaui respons krisis yang bersifat sementara untuk mengatasi akar penyebab kerapuhan yang diidentifikasi di Bagian 2. Tujuannya adalah untuk membentuk sistem global yang lebih stabil, tangguh, dan berkelanjutan.

 

5.1 Menata Ulang Kerja Sama Global: Model Baru untuk Utang, Iklim, dan Perdagangan

 

Krisis yang akan datang harus menjadi katalisator untuk reformasi arsitektur keuangan global yang fundamental. Kerangka kerja yang ada saat ini terbukti tidak memadai untuk menghadapi tantangan abad ke-21.

  • Restrukturisasi Utang: Perlu ada mekanisme yang lebih efisien dan adil untuk restrukturisasi utang negara. Kerangka kerja saat ini seringkali terlalu lambat dan tidak memadai untuk menangani krisis utang yang bersifat sistemik. Model-model baru yang melibatkan partisipasi sektor swasta yang lebih terstruktur dan mekanisme penyelesaian yang cepat sangat dibutuhkan.51
  • Keuangan Iklim: Diperlukan standar global dan mekanisme pembiayaan yang kuat untuk transisi iklim. Ini termasuk memastikan bahwa beban transisi dibagi secara adil antara negara maju dan berkembang, serta menyalurkan investasi hijau secara efektif ke tempat yang paling dibutuhkan. Inisiatif seperti Livable Planet Fund dari Bank Dunia adalah langkah ke arah yang benar, tetapi skalanya perlu diperbesar secara masif.22
  • Perdagangan Cerdas: Dunia harus bergerak melampaui konflik perdagangan yang bersifat zero-sum. Konsensus baru diperlukan untuk “globalisasi cerdas” (smart globalization)—sebuah pendekatan yang menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan resiliensi, keamanan nasional, dan keadilan sosial. Ini berarti menerima bahwa beberapa redundansi dalam rantai pasok adalah biaya yang perlu dibayar untuk stabilitas.5

 

5.2 Mengatur Masa Depan: Merancang Kebijakan untuk AI dan Keuangan Digital

 

Inovasi teknologi tidak bisa dan tidak seharusnya dihentikan, tetapi harus diarahkan oleh kerangka regulasi yang bijaksana untuk memitigasi risikonya.

  • Regulasi AI dalam Keuangan: Diperlukan kerangka regulasi yang gesit dan adaptif. Alih-alih regulasi berbasis aturan yang kaku, pendekatan berbasis prinsip mungkin lebih efektif. Badan penetap standar internasional harus fokus pada isu-isu seperti transparansi algoritmik, akuntabilitas, dan pemantauan risiko sistemik yang dapat ditimbulkan oleh AI.52
    Regulatory sandbox dapat digunakan untuk menguji inovasi dalam lingkungan yang terkendali.
  • Regulasi Aset Kripto: Untuk mencegah arbitrase regulasi dan mengatasi risiko pencucian uang serta instabilitas keuangan, diperlukan regulasi aset kripto yang jelas dan konsisten secara internasional. Ini termasuk mengklarifikasi status hukum berbagai jenis aset digital dan menetapkan peran dan tanggung jawab regulator yang jelas. Transisi pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK di Indonesia adalah studi kasus penting dalam evolusi regulasi ini.28

 

5.3 Mendorong Pertumbuhan Berkelanjutan dan Inklusif: Jalan Menuju Stabilitas Jangka Panjang

 

Solusi paling fundamental dan tahan lama untuk mencegah krisis di masa depan adalah dengan menggeser paradigma ekonomi global.

  • Pergeseran dari Utang ke Investasi Produktif: Ekonomi global harus beralih dari model pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi berbasis utang ke model yang didasarkan pada investasi produktif yang berkelanjutan. Ini berarti memprioritaskan investasi dalam modal manusia (pendidikan, kesehatan), teknologi hijau, dan infrastruktur digital.42
  • Mengurangi Ketidaksetaraan: Kebijakan harus dirancang secara eksplisit untuk mengurangi ketidaksetaraan. Tingkat ketidaksetaraan yang tinggi bukan hanya masalah sosial, tetapi juga sumber instabilitas ekonomi. Pertumbuhan yang tidak inklusif cenderung tidak stabil. Ini memerlukan kebijakan seperti jaring pengaman sosial yang kuat, sistem perpajakan yang progresif, dan jaminan akses yang luas terhadap peluang ekonomi.1
  • Untuk Indonesia: Ini berarti memanfaatkan bonus demografi dan kekayaan sumber daya alamnya bukan hanya untuk pertumbuhan PDB, tetapi untuk membangun ekonomi bernilai tambah tinggi yang tangguh dan inklusif, yang tidak terlalu rentan terhadap gejolak eksternal.

Solusi-solusi inovatif yang diperlukan pada dasarnya bersifat kelembagaan dan politis, bukan sekadar teknis atau finansial. Tantangan utamanya adalah membangun kembali kepercayaan dan tujuan bersama yang diperlukan untuk kerja sama global di dunia yang terfragmentasi. Solusi teknis seperti restrukturisasi utang atau regulasi AI tidak dapat diimplementasikan tanpa terlebih dahulu mengatasi perpecahan geopolitik yang mendasarinya. Ini menyiratkan bahwa jalan ke depan mungkin tidak melalui perjanjian universal yang megah seperti Bretton Woods, melainkan melalui kesepakatan “minilateral” atau “plurilateral” di antara koalisi negara-negara yang bersedia untuk merintis standar-standar baru. Inovasi sesungguhnya terletak pada proses kerja sama itu sendiri, bukan hanya pada hasil kebijakannya.

 

Kesimpulan: Seruan untuk Aksi Proaktif dan Terkoordinasi

 

Analisis dalam laporan ini menunjukkan bahwa dunia sedang menuju persimpangan jalan yang berbahaya. Potensi krisis keuangan global menjelang tahun 2030 bukanlah sebuah ramalan yang pasti, melainkan sebuah peringatan tentang lintasan saat ini. Krisis ini, jika terjadi, akan berbeda secara fundamental dari yang pernah kita alami sebelumnya. Ia tidak akan menjadi guncangan tunggal, melainkan sebuah “badai konvergen” di mana kerapuhan finansial yang telah lama menumpuk—terutama utang global—bertemu dengan serangkaian guncangan eksternal yang kuat dari arena geopolitik, lingkungan, dan teknologi.

Konvergensi risiko ini menciptakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para pembuat kebijakan akan menemukan diri mereka dengan perangkat yang terbatas, terhambat oleh utang yang tinggi dan kerja sama internasional yang terkikis. Dampaknya tidak hanya akan terasa di pasar keuangan, tetapi juga akan memperburuk polarisasi sosial, mengancam stabilitas politik, dan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan.

Namun, masa depan belum tertulis. Menghindari krisis ini, atau setidaknya memitigasi dampaknya secara signifikan, adalah mungkin. Tetapi ini menuntut pergeseran paradigma yang mendesak dan fundamental. Kita harus beralih dari pola pikir manajemen krisis yang reaktif—menunggu hingga bencana terjadi lalu membersihkannya—ke pendekatan proaktif yang berfokus pada pembangunan resiliensi sistemik hari ini.

Ini adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah dan bank sentral harus bertindak bijaksana untuk membangun kembali penyangga kebijakan dan memperkuat regulasi. Korporasi harus menanamkan resiliensi ke dalam inti model bisnis dan rantai pasok mereka. Dan setiap individu serta rumah tangga harus mengambil langkah-langkah untuk memperkuat pertahanan keuangan pribadi mereka.

Pada akhirnya, tantangan terbesar kita bersifat kolektif. Membangun kembali fondasi untuk kerja sama global, merancang aturan baru untuk ekonomi digital dan hijau, serta berkomitmen pada model pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan adalah satu-satunya jalan menuju stabilitas jangka panjang. Waktu untuk bertindak adalah sekarang. Menunggu hingga badai tiba akan terlambat.

Karya yang dikutip

  1. Global Risks Report 2025 | World Economic Forum, diakses Agustus 18, 2025, https://www.weforum.org/publications/global-risks-report-2025/digest/
  2. Global Risks Report 2025 | World Economic Forum, diakses Agustus 18, 2025, https://www.weforum.org/publications/global-risks-report-2025/
  3. SBY Bicara Soal Resesi, Covid-19, dan Krisis Ekonomi 2008 – CNBC Indonesia, diakses Agustus 18, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20200818173337-25-180632/sby-bicara-soal-resesi-covid-19-dan-krisis-ekonomi-2008
  4. Budi Frensidy: Mengenang Tiga Krisis Terakhir – Fakultas Ekonomi …, diakses Agustus 18, 2025, https://feb.ui.ac.id/2022/01/06/budi-frensidy-mengenang-tiga-krisis-terakhir/
  5. Global Economic Prospects – World Bank, diakses Agustus 18, 2025, https://www.worldbank.org/en/publication/global-economic-prospects
  6. World Economic Outlook – All Issues, diakses Agustus 18, 2025, https://www.imf.org/en/Publications/WEO
  7. Global Risks Report 2024 – The World Economic Forum, diakses Agustus 18, 2025, https://www.weforum.org/publications/global-risks-report-2024/
  8. Perang Dagang AS–Tiongkok: Dampak, Peluang, Tantangan dan …, diakses Agustus 18, 2025, https://www.kemhan.go.id/balitbang/2025/04/16/perang-dagang-as-tiongkok-dampak-peluang-tantangan-dan-solusi-strategis-bagi-indonesia.html
  9. KETEGANGAN HUBUNGAN AS-CHINA DAN DAMPAKNYA TERHADAP INDONESIA – DPR RI, diakses Agustus 18, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XII-15-I-P3DI-Agustus-2020-170.pdf
  10. Ancaman Resesi Global di Depan Mata, Mengapa Bisa?, diakses Agustus 18, 2025, https://cwts.ugm.ac.id/2022/10/21/ancaman-resesi-global-di-depan-mata-mengapa-bisa/
  11. Ini Sumber Penyebab Krisis Keuangan Global Berikutnya – Infobanknews, diakses Agustus 18, 2025, https://infobanknews.com/ini-sumber-penyebab-krisis-keuangan-global-berikutnya/
  12. STRATEGI PENGENDALIAN UTANG NEGARA – Komite Standar …, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ksap.org/sap/wp-content/uploads/2024/04/04_April_24-Makalah-Reduce.pdf
  13. 4 Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekonomi Global dan Bisnis – IDN Times, diakses Agustus 18, 2025, https://www.idntimes.com/business/economy/4-dampak-perubahan-iklim-terhadap-ekonomi-global-dan-bisnis-1-01-1mc7z-t5pjqz
  14. Belajar dari Pengalaman Menghadapi Krisis Ekonomi Dunia – Indonesia.go.id, diakses Agustus 18, 2025, https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalamangka/ekonomi/belajar-dari-pengalaman-menghadapi-krisis-ekonomi-dunia
  15. DJPPR | Utang Negara Bengkak itu Hoax – Kementerian Keuangan, diakses Agustus 18, 2025, https://www.djppr.kemenkeu.go.id/utangnegarabengkak
  16. Monograf Riset Stabilitas Sistem Keuangan 2018 – OJK, diakses Agustus 18, 2025, https://ojk.go.id/id/data-dan-statistik/research/prosiding/Documents/Monograf-Riset-Stabilitas-Sistem-Keuangan-2018.pdf
  17. De-Globalization and Fragmentation – IEP@BU, diakses Agustus 18, 2025, https://iep.unibocconi.eu/sites/default/files/media/attach/WP_Colantone.pdf
  18. The High Cost of Global Economic Fragmentation – International Monetary Fund (IMF), diakses Agustus 18, 2025, https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2023/08/28/the-high-cost-of-global-economic-fragmentation
  19. How geopolitical fragmentation impacts economic globalization? – Banco Santander, diakses Agustus 18, 2025, https://www.santander.com/en/press-room/insights/how-geopolitical-fragmentation-impacts-economic-globalization
  20. Global Trade: Geopolitical Tensions and Restructuring | Coface, diakses Agustus 18, 2025, https://www.coface.com/news-economy-and-insights/fragmented-globalisation-from-geopolitical-fracturing-to-economic-and-financial-fragmentation
  21. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sistem Keuangan Global: Risiko …, diakses Agustus 18, 2025, https://kumparan.com/nurlita-hidayatun/dampak-perubahan-iklim-terhadap-sistem-keuangan-global-risiko-dan-rekomendasi-1zuoWuyeOSv
  22. World Bank Group and IMF Deepen Joint Effort to Scale Up Climate Action, diakses Agustus 18, 2025, https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2024/05/31/world-bank-group-and-imf-deepen-joint-effort-to-scale-up-climate-action
  23. Artificial Intelligence in Financial Markets: Systemic Risk and Market Abuse Concerns | Insights | Sidley Austin LLP, diakses Agustus 18, 2025, https://www.sidley.com/en/insights/newsupdates/2024/12/artificial-intelligence-in-financial-markets-systemic-risk-and-market-abuse-concerns
  24. The rise of artificial intelligence: benefits and risks for financial stability – European Central Bank, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ecb.europa.eu/press/financial-stability-publications/fsr/special/html/ecb.fsrart202405_02~58c3ce5246.en.html
  25. How AI can undermine financial stability – CEPR, diakses Agustus 18, 2025, https://cepr.org/voxeu/columns/how-ai-can-undermine-financial-stability
  26. Artificial intelligence and systemic risk – LSE Research Online, diakses Agustus 18, 2025, https://eprints.lse.ac.uk/111601/4/Danielsson_artificial_intelligence_and_systemic_risk_published.pdf
  27. The Impact Analysis Cryptocurrency Investation as a Digital …, diakses Agustus 18, 2025, https://journal.ummat.ac.id/index.php/JABB/article/download/27109/10491
  28. 100 Transformasi Hukum Aset Kripto di Indonesia: Analisis Komparatif dengan Malaysia Mengenai Pergeseran dari Komoditas ke Instr, diakses Agustus 18, 2025, https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/plr/article/download/2214/919/
  29. Inovasi Digital dan Kebijakan Bank Sentral dalam Era Teknologi – Menulis: Jurnal Penelitian Nusantara, diakses Agustus 18, 2025, https://padangjurnal.web.id/index.php/menulis/article/download/264/259
  30. Deputi Bidang Pengkajian Ekonomi dan SKA Lemhannas RI Laksanakan FGD Risiko Krisis Ekonomi Global 2024, diakses Agustus 18, 2025, https://lemhannas.go.id/berita/berita-utama/2254-deputi-bidang-pengkajian-ekonomi-dan-ska-lemhannas-ri-laksanakan-fgd-risiko-krisis-ekonomi-global-2024/id
  31. Is high debt constraining monetary policy? Evidence from inflation expectations – Bank for International Settlements, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bis.org/publ/work1141.pdf
  32. Monetary and Fiscal Policies in Times of Large Debt: Unity is Strength – National Bureau of Economic Research, diakses Agustus 18, 2025, https://www.nber.org/system/files/working_papers/w27112/w27112.pdf
  33. Fiscal and Monetary Policy interactions in a Low Interest Rate World, diakses Agustus 18, 2025, https://www.imf.org/-/media/Files/News/Seminars/2021/Camdessus/ame-paper-fiscal-and-monetary-policy-interactions-in-a-low-interest-rate-world.ashx
  34. The Fiscal and Financial Risks of a High-Debt, Slow-Growth World, diakses Agustus 18, 2025, https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2024/03/28/the-fiscal-and-financial-risks-of-a-high-debt-slow-growth-world
  35. Peningkatan Kapasitas Pendanaan IMF Dalam Mengatasi Krisis …, diakses Agustus 18, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/berita-kajian/file/Peningkatan%20kapasitas%20pendanaan%20IMF%20dalam%20mengatasi%20krisis%20keuangan%20global.pdf
  36. II. Monetary and fiscal policy: safeguarding stability and trust, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bis.org/publ/arpdf/ar2023e2.htm
  37. Occasional Paper Series – Challenges for monetary and fiscal policy interactions in the post- pandemic era – European Central Bank, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ecb.europa.eu/pub/pdf/scpops/ecb.op337~fe2b751b27.en.pdf
  38. SIARAN PERS STABILITAS SISTEM KEUANGAN TETAP … – OJK, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Documents/Pages/SSK-Tetap-Terjaga-di-Tengah-Divergensi-Pertumbuhan-Ekonomi-Dunia-dan-Ketidakpastian-Pasar-Keuangan-Global/SPB%20SSK%20Tetap%20Terjaga%20di%20Tengah%20Divergensi%20Pertumbuhan%20Ekonomi%20Dunia%20dan%20Ketidakpastian%20Pasar%20Keuangan%20Global.pdf
  39. Kebijakan Bank Indonesia Dalam Menghadapi Krisis Keuangan – RUMAH JURNAL ITTC, diakses Agustus 18, 2025, https://jurnal.ittc.web.id/index.php/jakbs/article/download/906/810/2731
  40. 9 ways to strengthen the global economic response to COVID-19, diakses Agustus 18, 2025, https://www.weforum.org/stories/2020/04/9-ideas-strengthen-global-covid-19-firepower/
  41. Confronting the Crisis: Priorities for the Global Economy – International Monetary Fund (IMF), diakses Agustus 18, 2025, https://www.imf.org/en/News/Articles/2020/04/07/sp040920-SMs2020-Curtain-Raiser
  42. Upaya Pemerintah Indonesia dalam Mengatasi Krisis Ekonomi …, diakses Agustus 18, 2025, https://feb.umsu.ac.id/upaya-pemerintah-dalam-mengatasi-krisis-ekonomi-di-indonesia/
  43. Strategi Manajemen Perusahaan Menghadapi Krisis dan …, diakses Agustus 18, 2025, https://chemindo.com/strategi-manajemen-perusahaan-dalam-menghadapi-krisis-dan-perubahan-eksternal/
  44. STRATEGI DUNIA USAHA MENGHADAPI KRISIS DAN UPAYA UNTUK MENYESUAIKAN PROSES BISNIS PASCA PANDEMI – The SMERU Research Institute, diakses Agustus 18, 2025, https://smeru.or.id/sites/default/files/events/covid19webinar20200710_apindo.pdf
  45. Cara Menghadapi Resesi Ekonomi – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, diakses Agustus 18, 2025, https://feb.ub.ac.id/cara-menghadapi-resesi-ekonomi/
  46. 5 Persiapan untuk Menghadapi Resesi 2023 – BCA Life, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bcalife.co.id/info/tahapan-kehidupan/memiliki-pasangan/hadapi-isu-resesi-2023-ini-5-hal-yang-perlu-disiapkan-dari-sekarang
  47. Ancaman Resesi Tahun Depan, Apa yang Perlu Disiapkan? – Bank Neo Commerce, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bankneocommerce.co.id/id/news/ancaman-resesi-tahun-depan-apa-yang-perlu-disiapkan
  48. Strategi Ampuh Atur Uang Hadapi Krisis, Siap-siap! – Kuripan Kidul, diakses Agustus 18, 2025, https://kuripankidul.desa.id/strategi-ampuh-atur-uang-hadapi-krisis-siap-siap/
  49. 6 Hal yang Bisa Dilakukan oleh Investor untuk Hadapi Krisis Ekonomi – BNI Sekuritas, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bnisekuritas.co.id/info/6-hal-yang-bisa-dilakukan-oleh-investor-untuk-hadapi-krisis-ekonomi/
  50. 6 Hal yang Bisa Dilakukan oleh Investor untuk Hadapi Krisis …, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bnisekuritas.co.id/info/6-hal-yang-bisa-dilakukan-oleh-investor-untuk-hadapi-krisis-ekonomi
  51. Can the IMF and World Bank autumn meetings drive global economic recovery?, diakses Agustus 18, 2025, https://www.weforum.org/stories/2024/10/imf-world-bank-autumn-meetings-global-economic-recovery/
  52. AI in Financial Services – The World Economic Forum, diakses Agustus 18, 2025, https://initiatives.weforum.org/technology-innovation-and-systemic-risk/home
  53. The Economic Impacts and the Regulation of AI: A Review of the Academic Literature and Policy Actions in – IMF eLibrary, diakses Agustus 18, 2025, https://www.elibrary.imf.org/view/journals/001/2024/065/article-A001-en.xml
  54. Global Financial Stability Report – International Monetary Fund (IMF), diakses Agustus 18, 2025, https://www.imf.org/en/Publications/GFSR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *